Jagorjaya.com – Produsen baja di industri menengah hulu dan hilir menikmati kenaikan permintaan pada tahun ini. Kenaikan bahkan diperkirakan berlanjut pada tahun depan. Karena itu, produsen bersiap menambah kapasitas produksi.
Presiden Direktur Sunrise Steel Henry Setiawan menjelaskan, pertumbuhan permintaan terutama berasal dari sektor properti. Meski pertumbuhannya lebih rendah daripada target awal tahun, level kenaikannya tetap stabil. ’’Menjelang akhir tahun seperti saat ini, kenaikannya bisa terjaga lantaran banyak orang yang merenovasi rumah atau bangunan,’’ katanya kemarin (2/12).
Di industri baja hilir, produsen lapis seng aluminium Kepuh Kencana Arum juga mengalami pertumbuhan permintaan 25 persen pada periode Januari hingga November tahun ini. ’’Utilisasi kami sudah mencapai 95 persen. Kami berencana melakukan ekspansi,’’ ujar Henry.
Kapasitas produksi pabrik Sunrise Steel saat ini mencapai 120 ribu ton per tahun. Sunrise berencana menambah kapasitas produksi 140 ribu ton. Selama ini separo produksi Sunrise Steel dipasok untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Kepuh Kencana Arum.
Menurut Henry, kebutuhan baja lapis seng aluminium mampu tumbuh sekitar 10 persen per tahun. Kenaikan permintaan baja diyakini bertahan sampai Februari mendatang. ’’Setelah Februari, biasanya akan lesu. Trennya setiap tahun seperti itu karena proyek sudah tidak semarak seperti pada akhir tahun. Nanti permintaan melonjak lagi pada semester kedua,’’ terangnya.
Kepuh Kencana Arum juga berencana menambah kapasitas produksi 60 ribu ton dengan membangun pabrik di Balikpapan dan Bandung. Pabrik di Bandung dibangun sejak awal November kemarin untuk menyuplai kenaikan kebutuhan baja di Jawa Barat. Pabrik di Balikpapan, Kalimantan, akan digunakan untuk memenuhi pasar baja di luar Jawa. Pabrik itu baru dibangun pada awal tahun depan.
Pada semester kedua tahun ini, permintaan baja tumbuh 20–30 persen kalau dibandingkan dengan semester pertama tahun ini. Meski demikian, belum semua pertumbuhan itu dinikmati industri baja domestik. Alasannya, sekitar 40 persen dari total kebutuhan baja 1 juta ton per tahun merupakan baja impor asal Tiongkok.
Untuk bisa bersaing dengan baja Tiongkok, industri baja kini masih menantikan realisasi janji pemerintah tentang penurunan gas industri. Penurunan harga gas diyakini mampu membuat industri baja lebih efisien. Sebab, komponen bahan bakar berkontribusi 15–20 persen terhadap biaya produksi.
Penurunan harga gas menjadi USD 6 per mmbtu diyakini dapat mengurangi kontribusi komponen gas hingga hanya sekitar 11,5 persen terhadap biaya produksi.
Sementara itu, produsen baja, Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST), juga menikmati kenaikan permintaan. Untuk penjualan pelat di pasar lokal, GDST mengalami kenaikan penjualan dari Rp 451,216 miliar pada periode Januari sampai September tahun lalu menjadi Rp 456,814 miliar.
Sekitar 60 persen penjualan pelat lokal ditopang segmen konstruksi seperti jembatan dan bangunan. Sisanya ialah untuk tangki, boiler, maupun kapal. Produksi GDST pun meningkat 5 persen daripada tahun lalu.
Kondisi berbeda terjadi di pasar ekspor. Penjualan ekspor GDST tahun lalu mencapai Rp 145,944 miliar. Tahun ini angka penjualan hanya mampu mencapai Rp 23,081 miliar. ’’Pasar domestik saat ini lebih menguntungkan daripada ekspor. Banyak negara tujuan ekspor yang melakukan antidumping terhadap produk baja dari luar, termasuk dari Indonesia, sehingga produk kita tertahan,’’ jelas Direktur GDST Hadi Sutjipto.
Beberapa negara yang menggunakan bea antidumping ialah Amerika Serikat, Kanada, Taiwan, dan Australia. Kelebihan produksi baja dunia menjadi alasan negara-negara tersebut membuat perlindungan bagi produk baja domestik. Karena itu, produsen baja berharap pemerintah menerapkan perlindungan serupa untuk melindungi industri baja domestik. (vir/c14/noe/jpg)Produsen baja di industri menengah hulu dan hilir menikmati kenaikan permintaan pada tahun ini. Kenaikan bahkan diperkirakan berlanjut pada tahun depan. Karena itu, produsen bersiap menambah kapasitas produksi.
Presiden Direktur Sunrise Steel Henry Setiawan menjelaskan, pertumbuhan permintaan terutama berasal dari sektor properti. Meski pertumbuhannya lebih rendah daripada target awal tahun, level kenaikannya tetap stabil. ’’Menjelang akhir tahun seperti saat ini, kenaikannya bisa terjaga lantaran banyak orang yang merenovasi rumah atau bangunan,’’ katanya kemarin (2/12).
Di industri baja hilir, produsen lapis seng aluminium Kepuh Kencana Arum juga mengalami pertumbuhan permintaan 25 persen pada periode Januari hingga November tahun ini. ’’Utilisasi kami sudah mencapai 95 persen. Kami berencana melakukan ekspansi,’’ ujar Henry.
Kapasitas produksi pabrik Sunrise Steel saat ini mencapai 120 ribu ton per tahun. Sunrise berencana menambah kapasitas produksi 140 ribu ton. Selama ini separo produksi Sunrise Steel dipasok untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Kepuh Kencana Arum.
Menurut Henry, kebutuhan baja lapis seng aluminium mampu tumbuh sekitar 10 persen per tahun. Kenaikan permintaan baja diyakini bertahan sampai Februari mendatang. ’’Setelah Februari, biasanya akan lesu. Trennya setiap tahun seperti itu karena proyek sudah tidak semarak seperti pada akhir tahun. Nanti permintaan melonjak lagi pada semester kedua,’’ terangnya.
Kepuh Kencana Arum juga berencana menambah kapasitas produksi 60 ribu ton dengan membangun pabrik di Balikpapan dan Bandung. Pabrik di Bandung dibangun sejak awal November kemarin untuk menyuplai kenaikan kebutuhan baja di Jawa Barat. Pabrik di Balikpapan, Kalimantan, akan digunakan untuk memenuhi pasar baja di luar Jawa. Pabrik itu baru dibangun pada awal tahun depan.
Pada semester kedua tahun ini, permintaan baja tumbuh 20–30 persen kalau dibandingkan dengan semester pertama tahun ini. Meski demikian, belum semua pertumbuhan itu dinikmati industri baja domestik. Alasannya, sekitar 40 persen dari total kebutuhan baja 1 juta ton per tahun merupakan baja impor asal Tiongkok.
Untuk bisa bersaing dengan baja Tiongkok, industri baja kini masih menantikan realisasi janji pemerintah tentang penurunan gas industri. Penurunan harga gas diyakini mampu membuat industri baja lebih efisien. Sebab, komponen bahan bakar berkontribusi 15–20 persen terhadap biaya produksi.
Penurunan harga gas menjadi USD 6 per mmbtu diyakini dapat mengurangi kontribusi komponen gas hingga hanya sekitar 11,5 persen terhadap biaya produksi.
Sementara itu, produsen baja, Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST), juga menikmati kenaikan permintaan. Untuk penjualan pelat di pasar lokal, GDST mengalami kenaikan penjualan dari Rp 451,216 miliar pada periode Januari sampai September tahun lalu menjadi Rp 456,814 miliar.
Sekitar 60 persen penjualan pelat lokal ditopang segmen konstruksi seperti jembatan dan bangunan. Sisanya ialah untuk tangki, boiler, maupun kapal. Produksi GDST pun meningkat 5 persen daripada tahun lalu.
Kondisi berbeda terjadi di pasar ekspor. Penjualan ekspor GDST tahun lalu mencapai Rp 145,944 miliar. Tahun ini angka penjualan hanya mampu mencapai Rp 23,081 miliar. ’’Pasar domestik saat ini lebih menguntungkan daripada ekspor. Banyak negara tujuan ekspor yang melakukan antidumping terhadap produk baja dari luar, termasuk dari Indonesia, sehingga produk kita tertahan,’’ jelas Direktur GDST Hadi Sutjipto.
Beberapa negara yang menggunakan bea antidumping ialah Amerika Serikat, Kanada, Taiwan, dan Australia. Kelebihan produksi baja dunia menjadi alasan negara-negara tersebut membuat perlindungan bagi produk baja domestik. Karena itu, produsen baja berharap pemerintah menerapkan perlindungan serupa untuk melindungi industri baja domestik. (vir/c14/noe/jpg)
sumber : indopos